Alkisah,
di Dusun Medang Kawit, Desa Majethi, Jawa Tengah, hiduplah seorang
pendekar tampan yang sakti mandraguna bernama Aji Saka. Ia mempunyai
sebuah keris pusaka dan serban sakti. Selain sakti, ia juga rajin dan
baik hati. Ia senantiasa membantu ayahnya bekerja di ladang, dan
menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Ke mana pun pergi,
ia selalu ditemani oleh dua orang abdinya yang bernama Dora dan
Sembada.
Pada
suatu hari, Aji Saka meminta izin kepada ayahnya untuk pergi mengembara
bersama Dora. Sementara, Sembada ditugaskan untuk membawa dan menjaga
keris pusaka miliknya ke Pegunungan Kendeng.
“Sembada!
Bawa keris pusaka ini ke Pegunungan Kendeng. Kamu harus menjaganya
dengan baik dan jangan berikan kepada siapa pun sampai aku sendiri yang
mengambilnya!” pesan Aji Saka kepada Sembada.
“Baik, Tuan! Saya berjanji akan menjaga dan merawat keris pusaka Tuan!” jawab Sembada.
Setelah
itu, berangkatlah Sembada ke arah utara menuju Gunung Kendeng,
sedangkan Aji Saka dan Dora berangkat mengembara menuju ke arah selatan.
Mereka tidak membawa bekal pakaian kecuali yang melekat pada tubuh
mereka. Setelah setengah hari berjalan, sampailah mereka di sebuah hutan
yang sangat lebat. Ketika akan melintasi hutan tersebut, tiba-tiba Aji
Saka mendengar teriakan seorang laki-laki meminta tolong.
“Tolong...!!! Tolong...!!! Tolong...!!!” demikian suara itu terdengar.
Mendengar
teriakan itu, Aji Saka dan Dora segera menuju ke sumber suara tersebut.
Tak lama kemudian, mereka mendapati seorang laki-laki paruh baya sedang
dipukuli oleh dua orang perampok.
“Hei, hentikan perbuatan kalian!” seru Aji Saka.
Kedua
perampok itu tidak menghiraukan teriakan Aji Saka. Mereka tetap
memukuli laki-laki itu. Melihat tindakan kedua perampok tersebut, Aji
Saka pun naik pitam. Dengan secepat kilat, ia melayangkan sebuah
tendangan keras ke kepala kedua perampok tersebut hingga tersungkur ke
tanah dan tidak sadarkan diri. Setelah itu, ia dan abdinya segera
menghampiri laki-laki itu.
“Maaf, Pak! Kalau boleh kami tahu, Bapak dari mana dan kenapa berada di tengah hutan ini?” tanya Aji Saka.
Lelaki
paruh baya itu pun bercerita bahwa dia seorang pengungsi dari Negeri
Medang Kamukan. Ia mengungsi karena raja di negerinya yang bernama Prabu
Dewata Cengkar suka memakan daging manusia. Setiap hari ia memakan
daging seorang manusia yang dipersembahkan oleh Patihnya yang bernama
Jugul Muda. Karena takut menjadi mangsa sang Raja, sebagian rakyat
mengungsi secara diam-diam ke daerah lain.
Aji Saka dan abdinya tersentak kaget mendengar cerita laki-laki tua yang baru saja ditolongnya itu.
“Bagaimana itu bisa terjadi, Pak?” tanya Aji Saka dengan heran.
“Begini,
Tuan! Kegemaran Prabu Dewata Cengkar memakan daging manusia bermula
ketika seorang juru masak istana teriris jarinya, lalu potongan jari itu
masuk ke dalam sup yang disajikan untuk sang Prabu. Rupanya, beliau
sangat menyukainya. Sejak itulah sang Prabu menjadi senang makan daging
manusia dan sifatnya pun berubah menjadi bengis,” jelas lelaki itu.
Mendengar
pejelasan itu, Aji Saka dan abdinya memutuskan untuk pergi ke Negeri
Medang Kamukan. Ia ingin menolong rakyat Medang Kamukan dari kebengisan
Prabu Dewata Cengkar. Setelah sehari semalam berjalan keluar masuk
hutan, menyebarangi sungai, serta menaiki dan menuruni bukit, akhirnya
mereka sampai di kota Kerajaan Medang Kamukan. Suasana kota itu tampak
sepi. Kota itu bagaikan kota mati. Tak seorang pun yang terlihat lalu
lalang di jalan. Semua pintu rumah tertutup rapat. Para penduduk tidak
mau keluar rumah, karena takut dimangsa oleh sang Prabu.
“Apa yang harus kita lakukan, Tuan?” tanya Dora.
“Kamu tunggu di luar saja! Biarlah aku sendiri yang masuk ke istana menemui Raja bengis itu,” jawab Aji Saka dengan tegas.
Dengan
gagahnya, Aji Saka berjalan menuju ke istana. Suasana di sekitar istana
tampak sepi. Hanya ada beberapa orang pengawal yang sedang
mondar-mandir di depan pintu gerbang istana.
“Berhenti, Anak Muda!” cegat seorang pengawal ketika Aji Saka berada di depan pintu gerbang istana.
“Kamu siap dan apa tujuanmu kemari?” tanya pengawal itu.
“Saya Aji Saka dari Medang Kawit ingin bertemu dengan sang Prabu,” jawab Aji Saka.
“Hai, Anak Muda! Apakah kamu tidak takut dimangsa sang Prabu?” sahut seorang pengawal yang lain.
“Ketahuilah, Tuan-Tuan! Tujuan saya kemari memang untuk menyerahkan diri saya kepada sang Prabu untuk dimangsa,” jawab Aji Saka.
Para
pengawal istana terkejut mendengar jawaban Aji Saka. Tanpa banyak
tanya, mereka pun mengizinkan Aji Saka masuk ke dalam istana. Saat
berada di dalam istana, ia mendapati Prabu Dewata Cengkar sedang murka,
karena Patih Jugul tidak membawa mangsa untuknya. Tanpa rasa takut
sedikit pun, ia langsung menghadap kepada sang Prabu dan menyerahkan
diri untuk dimangsa.
“Ampun, Gusti Prabu! Hamba Aji Saka. Jika Baginda berkenan, hamba siap menjadi santapan Baginda hari ini,” kata Aji Saka.
Betapa
senangnya hati sang Prabu mendapat tawaran makanan. Dengan tidak sabar,
ia segera memerintahkan Patih Jugul untuk menangkap dan memotong-motong
tubuh Aji Saka untuk dimasak. Ketika Patih Jugul akan menangkapnya, Aji
Saka mundur selangkah, lalu berkata:
“Ampun,
Gusti! Sebelum ditangkap, Hamba ada satu permintaan. Hamba mohon
imbalan sebidang tanah seluas serban hamba ini,” pinta Aji Saka sambil
menunjukkan serban yang dikenakannya.
“Hanya itu permintaanmu, hai Anak Muda! Apakah kamu tidak ingin meminta yang lebih luas lagi?” sang Prabu menawarkan.
“Sudah cukup Gusti. Hamba hanya menginginkan seluas serban ini,” jawab Aji Saka dengan tegas.
“Baiklah kalau begitu, Anak Muda! Sebelum memakanmu, akan kupenuhi permintaanmu terlebih dahulu,” kata sang Prabu.
Aji Saka pun melepas serban yang melilit di kepalanya dan menyerahkannya kepada sang Prabu.
“Ampun, Gusti! Untuk menghindari kecurangan, alangkah baiknya jika Gusti sendiri yang mengukurnya,” ujar Aji Saka.
Prabu
Dewata Cengkar pun setuju. Perlahan-lahan, ia melangkah mundur sambil
mengulur serban itu. Anehnya, setiap diulur, serban itu terus memanjang
dan meluas hingga meliputi seluruh wilayah Kerajaan Medang Kamulan.
Karena saking senangnya mendapat mangsa yang masih muda dan segar, sang
Prabu terus mengulur serban itu sampai di pantai Laut Selatan tanpa
disadarinya,. Ketika ia masuk ke tengah laut, Aji Saka segera
menyentakkan serbannya, sehingga sang Prabu terjungkal dan seketika itu
pula berubah menjadi seekor buaya putih. Mengetahui kabar tersebut,
seluruh rakyat Medang Kamulan kembali dari tempat pengungsian mereka.
Aji Saka kemudian dinobatkan menjadi Raja Medang Kamulan menggantikan
Prabu Dewata Cengkar dengan gelar Prabu Anom Aji Saka. Ia memimpin
Kerajaan Medang Kamulan dengan arif dan bijaksana, sehingga seluruh
rakyatnya hidup tenang, aman, makmur, dan sentosa.
Pada suatu hari, Aji Saka memanggil Dora untuk menghadap kepadanya.
“Dora!
Pergilah ke Pegunungan Kendeng untuk mengambil kerisku. Katakan kepada
Sembada bahwa aku yang menyuruhmu,” titah Raja yang baru itu.
“Daulat, Gusti!” jawab Dora seraya memohon diri.
Setelah
berhari-hari berjalan, sampailah Dora di Pegunungan Gendeng. Ketika
kedua sahabat tersebut bertemu, mereka saling rangkul untuk melepas rasa
rindu. Setelah itu, Dora pun menyampaikan maksud kedatangannya kepada
Sembada.
“Sembada,
sahabatku! Kini Tuan Aji Saka telah menjadi raja Negeri Medang Kamulan.
Beliau mengutusku kemari untuk mengambil keris pusakanya untuk dibawa
ke istana,” ungkap Dora.
“Tidak,
sabahatku! Tuan Aji berpesan kepadaku bahwa keris ini tidak boleh
diberikan kepada siapa pun, kecuali beliau sendiri yang datang
mengambilnya,” kata Sembada dengan tegas.
Karena
merasa mendapat tanggungjawab dari Aji Saka, Dora pun harus mengambil
keris itu dari tangan Sembada untuk dibawa ke istana. Kedua dua orang
abdi bersahabat tersebut tidak ada yang mau mengalah. Mereka bersikeras
mempertahankan tanggungjawab masing-masing dari Aji Saka. Mereka
bertekad lebih baik mati daripada menghianati perintah tuannya.
Akhirnya, terjadilah pertarungan sengit antara kedua orang bersahabat
tersebut. Mereka sama kuat dan tangguhnya, sehingga mereka pun mati
bersama.
Sementara itu, Aji Saka sudah mulai gelisah menunggu kedatangan Dora dari Pegunung Gendeng membawa kerisnya.
“Apa yang terjadi dengan Dora? Kenapa sampai saat ini dia belum juga kembali?” gumam Aji Saka.
Sudah
dua hari Aji Saka menunggu, namun Dora tak kunjung tiba. Akhirnya, ia
memutuskan untuk menyusul abdinya itu ke Pegunungan Gendeng seorang
diri. Betapa terkejutnya ia saat tiba di sana. Ia mendapati kedua abdi
setianya telah tewas. Mereka tewas karena ingin membuktikan kesetiaannya
kepada tuan mereka.
Untuk mengenang kesetiaan kedua abdinya tersebut, Aji Saka menciptakan aksara Jawa atau dikenal dengan istilah dhentawyanjana,
yang mengisahkan pertarungan antara dua abdinya yang memiliki
kesaktiaan yang sama dan tewas bersama. Huruf-huruf tersebut juga
dikenal dengan istilah carakan.
Hanacaraka = Ada Utusan, atau abdi;
Dathasawala = membawa khabar atau surat;
Padhajayanya = sama-sama sakti;
Magabatanga = semuanya menjadi mayat.
sumber: kaskus
0 komentar:
Posting Komentar